Suatu hari seorang ustadz didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah.
Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Ustadz hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya”, ujar ustadz.
“Pahit, pahit sekali “, jawab pemuda itu sambil meludah ke samping. Ustadz itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang itu.
Sesampai disana, Ustadz itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan
sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.”
Saat si pemuda mereguk air itu, Ustadz kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya ?”
“Segar “, sahut si pemuda.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?” tanya ustadz.
“Tidak, ” sahut pemuda itu.
Ustadz tersenyum sambil berkata:
“Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan,
adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang.
Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama.
Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.
Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup,
hanya ada satu yang kamu dapat lakukan;
Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu,
luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Ustadz itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya?
Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas,
buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu,
dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.”
(Ustadz Abdullah Hadrami)
No comments:
Post a Comment